Jumat, 03 Juni 2011

Cerpen_Dalam Angan Qiara

Bunga mawar itu telah berbunga. Warnanya bermacam-macam. Wanginya semerbak melenakan indera pembau serta penglihat. Bahkan siapa saja yang memandang eloknya bunga itu pasti akan merasa tenteram, meskipun hanya bisa memandangi dari balik pagar besi bersama seekor kucing putih dan… seorang cowok yang hanya tinggal sendirian di rumah itu.
Sudah enam bulan ia tinggal di rumah itu dan berarti sudah selama itu pula dia menjadi tetanggaku. Aku selalu melewati rumahnya ketika berangkat ke sekolah. Namun aku tak pernah bertegur sapa apalagi mengenalnya.
Aku selalu mencari tahu tentangnya. Mengapa ia tinggal sendirian, mengapa ia suka merawat kucing dan bunga mawar, dan mengapa ia tak pernah keluar rumah, setidaknya untuk mencari suasana baru sejak tinggal disini. Entah mengapa ia telah menggugah naluri penasaranku. Hingga akhirnya kutemukan jawabannya dari pembantu rumahku, Mbak Rini yang sebelumnya sudah kumintai tolong untuk mencari tahu tentang cowok itu.
“kata temen saya, dia sakit Mbak…” Ujar Mbak Rini lirih seolah hendak menyampaikan sebuah rahasia penting.
“Sakit apa Mbak?” tanyaku kaget.
“Katanya sih… HIV AIDS. Makanya orang tuanya Cuma jenguk dia seminggu atau dua minggu sekali, Mbak.”
Aku tersentak. Ada rasa iba yang teramat dalam dihatiku. Sejuta pertanyaan mulai menyerang saraf otakku.
Apa yang membuatnya sampai bisa terkena AIDS?
“Mbak… Mbak Qiara kenapa ngelamun?” Mbak Rini mengibaskan tangannya di depan wajahku hingga menyadarkan lamunanku.
“Mbak Rini tau siapa namanya, nggak?”
“Namanya… aduh Mbak, aku lupa…” Mbak Rini menepuk dahinya dan menampakkan wajah datar.
Aku hanya termenung dengan segala bimbang. Namun aku tetap sadar bahwa kesempatan untuk mengenalnya masih terbuka lebar.
“Mbak, aku teleponin temen aku dulu gimana? Soalnya dia lebih banyak tau tentang cowok itu…”
“Iya Mbak. Pake HP aku aja.” Ku sodorkan HPku pada Mbak Rini.
Ia menerima HPku dan mulai menekan tombolnya. Sesaat kemudian ia tampak sedang berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
“Halo… Mbak Tika, ini Rini… nggak… itu, Cuma mau tanya, anak yang tinggal di blok D nomor tujuh itu namanya siapa ya Mbak? Ini disuruh Mbak Qiara… oh… oh iya. Ya udah makasih ya Mbak Tika…” Mbak Rini mengakhiri teleponnya dengan senyum lega.
“Siapa Mbak?”
“Yedha…”

♠♠♠

Sepulang sekolah, aku meminta temanku untuk menurunkan aku di gang jalan memasuki kompleks rumahku dan akupun berjalan kaki.
Akhirnya aku melewati rumah itu. Rumah yang sekian lama selalu membuatku penasaran. Yedha tampak sedang duduk di beranda sambil memangku kucingnya. Tiba-tiba kucing itu lari dan melompat pagar menuju ke jalan.
“Mio!!!” Seru Yedha, namun dengan suara yang lemah.
Aku segera mengejar kucing itu dan menangkapnya sebelum sebuah mobil lewat dan menabraknya. Ku berikan kucing itu pada Yedha melalui celah pagar yang menjadi penghalang antara aku dan dia.
Yedha tersenyum, memberikan senyumnya yang paling manis… atau mungkin baru kali ini aku melihatnya tersenyum?
“Makasih ya…” ucapnya, lagi-lagi sambil tersenyum.
“Boleh minta imbalan nggak?” Godaku.
Cowok kurus tinggi itu mengrenyit.
“Boleh minta mawarnya nggak?” tanyaku.
Ia terdiam, menatapku tanpa ekspresi.
“Heiii…”
“Oh, boleh… masuk yuk…” ajaknya sambil memamerkan lagi senyumnya yang manis. Lebih manis dari senyumnya yang pertama, yang ku kira adalah senyum termanisnya. Di bukanya pagar besi berwarna putih itu.
Aku pun memasuki halaman rumah yang penuh mawar itu. Dan ku sadari ternyata kucing itulah yang mengilhami pertemuan kami berdua.
“Mawar kamu bagus banget… kamu sendiri yang ngerawat?” mataku terarah padanya.
Ia mengangguk.
“Beneran, bagus banget… tertata, bersih, speechless deh…”
“Makasih… tapi mujinya jangan gitu dong… ntar aku jadi ke-GeeR-an…” ia tertawa kecil.
“Kamu tinggal sendirian ya?”
Yedha mengangguk. “Eh, nama kamu siapa?” tanyanya.
“aku Qiara…” jawabku.
“aku…”
“Yedha kan?” sahutku.
Ia tersenyum pertanda membenarkan.
“Kucing kamu lucu… putih, aku suka warna putih…”
“Namanya Mio. Cuma dia yang bisa jadi pendengar setiaku. Seenggaknya selama aku tinggal disini.” Jawabnya datar.
“Aku bisa kok… apapun masalah kamu, kapanpun, aku mau dengerin kamu. Aku mau jadi temen yang baik buat kamu. Jadi kamu nggak akan kesepian lagi…” ku berikan seulas senyum untuknya.
“Kenapa kamu mau jadi temen aku, di saat orang-orang yang aku sayang mulai menjauh dari aku karena…” ucapannya menggantung.
Aku menoleh, menunggu jawaban darinya meskipun aku tahu jawaban yang sebenarnya.
“Aku sakit… aku nggak pantes punya temen… aku terkena AIDS... aku kotor…” matanya menerawang.
“Aku nggak pernah ngomong gitu kok… aku nggak pernah nganggep kamu kotor.”
“Orang-orang diluar sana pasti nganggep aku bisa sakit kayak gini karena aku cowok nggak bener, aku rusak… mereka berhak ngomong gitu meskipun semua itu jauh dari kenyataan.” Matanya berkaca-kaca.
“Kalo kamu nggak keberatan, aku boleh tau kenapa kamu bisa sampe kayak gini?” kataku dengan hati-hati, tak ingin menyinggung perasaannya.
“awalnya karena ketidaksengajaan pihak rumah sakit. Aku nggak pernah nganggep ini semua kesalahan.”
Aku terdiam, menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Aku dulu pernah kecelakaan motor, dan aku butuh donor darah karena aku ngeluarin darah banyak banget. Ternyata, pendonor darah untukku itu terkena AIDS.”
“Keluarga kamu nggak nuntut pihak rumah sakit?”
Yedha menggeleng. Aku tertegun agak lama. Terasa ada yang mencekik kerongkonganku. Sakit!
“Kita ditakdirkan untuk hidup, pasti juga ditakdirkan untuk mati. Sebab-sebab matinya pun udah dituliskan. Aku pasrah… karena hakikat hidup yang sesungguhnya adalah menunggu dan mempersiapkan kematian. Nggak ada yang abadi di dunia ini…”
Kata-kata Yedha membuat air mataku mengalir. Jatuh… membasahi pipiku. Ia begitu tegar menerima kenyataan pahit itu walaupun pasti hatinya pun juga terpukul.
“Kenapa kamu nangis?”
Aku mengusap air mataku dan menatapnya. Ia tersenyum, akupun tersenyum meskipun hatiku masih terasa sesak bagai dihujam dengan ribuan batu cadas.

♠♠♠

Sudah hampir satu bulan aku mempunyai rutinitas baru. Aku membantu Yedha merawat bunga-bunganya. Aku senang bisa mengisi hari-harinya. Aku senang bisa memandanginya tersenyum. Ada sesuatu yang aneh. Aneh sekali. Rasa berat ketika aku berada jauh darinya. Inikah cinta? Ah… aku jatuh cinta…
Semakin hari rasa sayangku semakin besar pada Yedha. Namun aku tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya, bukan karena aku cewek. Entah, aku begitu takut. Sebesar rasa takutku akan kehilangannya. Kubiarkan rasa ini tertahan. Biarlah memiliki Yedha hanyalah sebuah mimpi karena aku tak kan terbangun dari mimpi itu hingga mimpi kan bersua dengan kenyataan.
“Besok aku mau pergi ke Bali…” ucapku.
“Lama?” tanya Yedha.
“Nggak kok, Cuma seminggu aja. Kita sekelurga mau jenguk Nenek disana.”
“Beneran kan pulangnya minggu depan?” tanya Yedha memastikan.
“Iya, mungkin sabtu sore udah nyampe sini lagi. Kenapa emang?”
“minggu depan Mama sama Papaku mau kesini. Aku pengen ngenalin kamu sama mereka. Ya, aku harap kamu udah disini waktu mereka jenguk aku.”
“Ya… mudah-mudahan aja gitu…” aku tersenyum. “Oh iya, kamu minta oleh-oleh apa?”
“Ehm, bawain pasir pantai Kuta sama kamboja putih aja deh…”
Aku tersenyum getir. Meskipun hanya sepekan pergi ke Bali, aku pasti akan merindukan Yedha.
“Kalo Tuhan masih nengijinkan kita ketemu, aku pengen ngungkapin something sama kamu.” Ujar Yedha lirih.
“Kenapa nggak sekarang aja?” tanyaku.
Yedha hanya menggeleng dengan senyum simpul di wajahnya. Senyumnya berbeda. Getir, memendam sejuta makna. Kupendam rasa penasaranku dalam-dalam. Lagipula ia sudah berjanji akan menceritakannya sepulangnya aku dari Bali.
Pulau Dewata sudah didepan mata. Sebentar lagi pesawat yang kutumpangi akan mendarat di bandara Ngurah Rai.
Mobil yang disewa keluargaku sedang perjalanan menuju Ubud untuk ke rumah Nenek yang memang berada disana.
“Mama dengar kamu dekat sama Yedha?” tanya Mamaku yang tiba-tiba membuat jantungku memompa lebih cepat.
Aku tetap membisu.
“Qiara?”
“Iya, Ma. Dia baik kok, Ma… nggak kayak yang dibilang sama orang-orang. Mama kok kenal sama Yedha?” aku balik bertanya, dengan nada gugup.
“Mama jauh lebih kenal sama dia daripada kamu, sayang… dia itu pasien Papa kamu di rumah sakit. Untuk beberapa bulan terakhir ini Papa yang menangani dia.”
“Oh ya? Papa kok nggak pernah cerita sih, Pa, Ma?” tanyaku kaget.
“Ya, kami kira nggak penting juga… Lagipula sejak kapan kamu peduli sama pasien Papa?” sahut Papa.
Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Kebisuan melanda selama kami berada di mobil. Aku sedang tenggelam dengan pikiranku sendiri. Sesampainya di Ubud, Nenek menyambutku, juga Kian, sepupuku yang sejak kecil sudah tinggal bersama Nenek.

♠♠♠

Aku berdiri menatap deburan ombak pantai Kuta. Aku membayangkan suatu saat akan menyambut sunrise dan sunset bersama Yedha. Bermain di tepi pantai sambil merasakan gelombang yang menerpa lirih kami berdua. Indah, damai, dan menyenangkan…
Aku mengambil sebotol pasir putih di pantai Kuta, juga merangkaikan kamboja putih untuk Yedha.
Sabtu sore aku tiba dirumah. Aku bergegas menuju rumah Yedha dengan membawa sebotol pasir putih, rangkaian bunga kamboja putih dan sebuah ukiran kayu yang ku pesan sebelum aku pulang.
Tak seperti biasa, pagar rumah Yedha tak terkunci. Aku memasuki rumah itu. Terdengan suara isak tangis seorang wanita didalamnya.
“Tante… Ini ada apa ya?” tanyaku kaget.
Tanpa menjawab, wanita paruh baya itu memberikan sebuah buku harian berwarna biru tua padaku. Aku membuka halaman demi halaman hingga aku ternganga membaca beberapa halaman terakhir buku itu.

27 November 2010
Namanya Qiara. Tadi dia menyelamatkan Mio yang hampir aja tertabrak, sampai akhirnya aku kenalan dan ngobrol sama dia.

24 Desember 2010
Dia mau pergi ke bali… tapi kenapa aku ngerasa kehilangan? Seolah kami nggak akan ketemu lagi. Padahal dia Cuma pergi selama seminggu. Tuhan ada apa denganku ini?

28 Desember 2010
Sakit kepalaku menyerang. Menusuk hingga ke rongga dada, bersatu padu dengan kerinduanku padanya. Aku mencintai Qiara…

01 januari 2011
Tahun baru, mawar-mawar baru pun bermekaran. Mawar putih itu menunggu Qiara kembali. Seperti aku yang sedang merindukannya.
Tuhan, gimana kalo aku nggak akan bisa ketemu dia lagi? Ijinkan aku mengatakan cinta sebelum aku pergi meskipun nantinya aku nggak akan bisa memilikinya, Tuhan…

Mataku berkabut, kemudian perlahan kabut itu berubah menjadi embun dan mencair membasahi pipiku. Wanita paruh baya yang memberikan diary Yedha padaku langsung menghambur ke pelukanku dan menangis. Pelukannya hangat, penuh kasih sayang, dia adalah Mama Yedha.
“Yedha mana Tante? Kenapa Tante nangis?” tanyaku sambil mulai terisak.
“Dia meninggal…” Mama Yedha kembali menangis.
Air mataku tak terbendung lagi. Tatapanku hampa.
“Enggak Tante… Tante jangan bohongin Qia… Qia sayang sama Yedha…”
“Yedha juga sayang sama kamu, tapi Tuhan berkata lain Qiara… Tante menyesal…” ucap Mama Yedha lirih. “Dia benar-benar sudah meninggal…” lanjutnya.
Secepat itu Yedha pergi. Sebelum aku benar-benar bisa memilikinya, menunjukkan rasa sayangku seutuhnya buat dia.

♠♠♠

Gundukan tanah merah itu masih basah dengan bunga-bunga segar bertabur diatasnya. Batu nisan yang masih tampak bersih dengan jelas bertuliskan nama ‘Yedha Wiguna’.
Ku letakkan ukiran kayu bertuliskan ‘Qiara ♥ Yedha’ yang ku bawa dari Bali di dekat batu nisannya, bersama sebotol pasir putih dan rangkaian bunga kamboja putih yang ku buatkan untuk Yedha.
Dari kejauhan Yedha tersenyum memandangku. Aku memejamkan mata… ku rasakan ia datang memelukku. Pelukannya begitu erat berpadu dengan hembusan nafas kami yang bersatu dengan angin kerinduan yang selalu menemaniku. Dan suatu saat aku percaya, angin itulah yang akan mempertemukan lagi kami berdua dalam kenyataan...

SELESAI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar