Jumat, 25 Maret 2011

Cerpen_Sembah Sujud Perindu Ilahi

Aku merasa terlalu pagi tiba di sekolah. Hanya ada beberapa anak saja yang duduk mematung menunggu teman-teman yang lain atau bahkan sedang mengerjakan ‘pekerjaan rumah’. Jalanan masih basah dan agak gelap diselimuti kabut. Satpam yang berdiri di depan gerbang pun mengenakan jaket untuk mencegah hawa dingin yang lalu lalang menerpa kesunyian. Hawa dingin itu seolah menggemakan takbir dan mengagungkan nama Allah.
Tanpa ada keraguan aku melangkah melewati gerbang SMA Negeri Ploso. Ketika hendak memasuki kelas aku melihat setetes embun yang jatuh dari sehelai daun pada bunga mawar yang tumbuh di depan kelasku. Embun itu seolah sedang bersujud dan bertasbih. Melihat embun itu aku jadi teringat pada sosok pemuda lemah lembut yang selalu membaca Al-Qur’an untuk mengisi waktu luangnya. Ia juga sering menghabiskan waktunya di perpustakan atau di masjid bernama Nurul Iman yang termasuk salah satu bangunan di SMA Negeri Ploso, sebuah sekolah umum namun amat memperhatikan ajaran dan aqidah Islam. Pemuda itu bernama Farizi.
Ketika memasuki ruang kelasku yaitu kelas X-5, aku mendengar seseorang tengah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan fasihnya. Tak asing bagiku karena hampir setiap hari aku mendengarnya. Ternyata suara milik Farizi yang sedang membaca surat Ar-Rahman.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang akan kamu dustakan?
Maha agung nama Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan karunia.
(QS. Ar-Rahman : 77-78)
Sejenak ia terdiam mendengar hentakan sepatuku, kemudian ia melanjutkan lagi. Setelah meletakkan tas di meja aku segera keluar karena tak mungkin aku berada dalam satu ruang dengan lelaki yang bukan muhrimku.
Diam-diam pemuda itu telah mencuri perhatianku. Aku menyukainya. Mungkin di dunia ini jarang sekali ada lelaki sepertinya. Ia amat mematuhi norma-norma Islam. Setiap kami tak sengaja bertatapan, ia segera mengalihkan pandangannya. Ini bukan karena ia tidak menghormati perempuan, justru ini adalah penghormatannya kepada kaum Hawa. Hatinya benar-benar bening, sebening embun yang tiap pagi menetes dan bersujud kepada ilahi.
“Nisa, aku boleh pinjam buku catatan fisika minggu lalu?” Aku kaget ketika tiba-tiba mendengar suara lembut seorang lelaki di sampingku. Ku toleh, ternyata suara lembut itu milik Farizi.
“Sebentar ya, aku ambil dulu.” Aku masuk kelas untuk mengambil buku yang dimaksud oleh Farizi.
“Ini bukunya…” kataku seraya megulurkan buku yang kubawa pada Farizi.
“Terima kasih ya…” ia menerima buku yang kuberikan.
“Sama-sama. Bacaan Al-Qur’an kamu indah. Aku terenyuh mendengarnya”
Farizi tersenyum. Senyumnya bagaikan sinar mentari pagi yang semakin memancar seiring berjalannya sang waktu. Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk seindah ini.
Semua siswa sudah tertib memasuki kelasnya masing-masing. Sekolah ini memang mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban. Dengan disiplin pula para siswa sedang memperhatikan pelajaran fisika yang disampaikan oleh Bu Farida. Beliau juga selalu memberikan kesempatan untuk bertanya maupun saling mengajari kepada teman-teman yang lain. Inilah keindahan yang selalu dilandasi keimanan dan ketaqwaan. Inilah rumah keduaku, inilah surgaku. Baiti jannati. Rumahku adalah surgaku.
*****
Semakin hari aku semakin dekat dan mengenal siapa Farizi. Ia adalah seorang yang hanya tinggal bersama ibunya karena telah lama ditinggal mati oleh ayahnya. Seorang yang selalu merindukan cahaya ilahi. Seorang yang selalu dahaga akan ilmu. Seorang yang cerdas, namun gaya bicara dan bahasanya tak pernah terkesan menggurui.
Sudah seminggu nama Farizi tercatat sakit di papan absen. Aku cemas memikirkannya, perasaanku sedih, fikiranku melayang. Dalam shalatku aku berdo’a, dalam selaksa sujudku aku memohon. Ya Allah, sembuhkanlah Farizi. Kembalikan kesehatannya agar dia bisa kembali mengagungkan nama-Mu.
Aku mendengar teman-teman akan menjenguk Farizi ke rumahnya nanti pulang sekolah. Semua siswa kelas X-5 ikut, termasuk aku. Kami semua merindukan lembut tutur katanya, juga merdu suaranya tatkala membaca ayat suci Al-Qur’an. Kami merindukan semua tentangnya.
Sesuai rencana, sepulang sekolah kami menjenguk Farizi di rumahnya. Ketika memasuki rumahnya aku semakin kagum pada sosok Farizi. Banyak sekali piagam yang ia peroleh dari lomba Qira’ah, adzan, kaligrafi, dan tentu masih banyak lagi hasil karyanya. Dengan ramahnya, perempuan paruh baya berbusana dan berjilbab biru yaitu Bu Azizah, ibu dari Farizi, mengajak kami masuk ke ruang tengah. Di ruangan itu Farizi seolah memaksakan diri untuk duduk. Tubuhnya lemah tanpa daya, wajahnya pucat. Hatiku menangis. Aku tak tega melihatnya. Andaikan aku halal baginya, akan aku basuh semua keluhnya, ku seka semua kesahnya, akan ku rawat sampai dia benar-benar sembuh. Ah, berfikiran apa aku ini…
“Terima kasih ya teman-teman atas perhatiannya, titip salam buat semua guru di SMAN Ploso.” Kata Farizi.
Hanya itu kalimat terpanjang yang terucap lemah dari bibirnya. Selanjutnya ia selalu saja mengucapkan terima kasih yang tiada terkira kepada kami. Ketika kami bertanya Farizi sakit apa, Bu Azizah bilang hanya panas biasa. Tapi aku yakin ada yang disembunyikan. Semoga saja sakitnya itu tidak parah.
*****
Farizi kembali bersekolah. Aku sangat senang kembali mendengarnya melantunkan Al-Qur’an, kembali bercengkerama dengannya, dan melihat lagi senyumnya yang indah secerah mentari. Semua itu kembali menjadi rutinitasku selama berada di sekolah. Setetes embun yang terasa pucat tanpanya kembali menjadi jernih mendendangkan nyanyian surga.
Aku berpapasan dengan Farizi di depan perpustakaan. Wajahnya pucat dan dari hidungnya keluar darah.
“Ya Allah, Farizi… kamu mimisan?” keadaan cemas membuatku hampir lupa sehingga aku menyentuhnya dan membersihkan darah yang terus keluar dari hidungnya dengan sehelai tisu. Berulang kali aku mengucap istighfar. Syetan selalu memperdaya manusia dalam keadaan cemas dan khawatir.
Farizi mengusap hidungnya dengan tangan, kuberi dia tisu. Pemuda berhati lemut itu menerimanya tanpa setitikpun menyentuh kulitku.
“Terima kasih, Nis…” ucapnya lirih.
Kami memutuskan berbincang sambil duduk di depan perpustakaan. Ia masih mengusap darah yang terus merembes dari hidungnya.
“Soal jawaban ibumu waktu kami tanya kamu sakit apa, aku yakin ibumu bohong. Mana mungkin panas biasa bisa sampai seminggu lebih? Dan sekarang, ditambah lagi kamu mimisan.” Tuntutku.
“Aku bener-bener panas biasa, Nis…” Farizi mengelak.
“Bersumpahlah atas nama Allah, Riz…”
Farizi tertunduk dan terdiam.
“Jujurlah Riz, aku ini teman kamu.”
“Ak-ak...aku… terserang leukimia. Dokter memvonis umurku kurang dari enam bulan kalau dalam waktu itu aku nggak mendapat donor tulang sumsum belakang.” Jawab Farizi dengan suara yang agak parau. Ia kembali tertunduk. Dari sudut matanya menetes air mata yang bening, sebening tetesan embun yang ku lihat setiap pagi.
Lidahku kelu. Dalam hati aku menangis. Kata-katanya selalu terngiang di telingaku. Akupun tak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku ingin menolongnya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tak bisa membayangkan Farizi yang bisa bersabar menahan cobaan yang diberikan oleh Allah. Ia pemuda yang shalih. Meskipun ia sering berbagi denganku, bertukar fikiran, dan kami terbilang akrab, ia tetap memperhatikan ajaran dan larangan dalam Islam. Ia tak pernah memandangku lekat-lekat apalagi menyentuhku.
Dalam pekatnya malam, seusai shalat tahajud, aku berdo’a kepada Allah untuk kesembuhan Farizi. Jangankan aku, duniapun akan merasa sedih jika harus kehilangan penyejuk nurani sepertinya.
*****
“Farizi dirawat di rumah sakit. Aku juga nggak tahu sih dia sakit apa…” kata Arya, teman sekelasku yang juga tetangga Farizi.
Aku kembali teringat oleh kata-kata Farizi beberapa hari yang lalu, ”Dokter memvonis umurku kurang dari enam bulan…” kata itu tak pernah lelah menghantui fikiranku.
Pukul tiga sore seusai shalat ashar aku menuju rumah sakit tempat Farizi dirawat. Pemuda berhati selembut salju dan sebening embun itu terbaring tanpa daya berselimut sehelai kain berwarna hijau, sehijau bantal-bantal di surga yang dikatakan dalam surat Ar-Rahman. Di sampingnya, Bu Azizah, ibunya, sedang duduk menatapi putranya tanpa harapan sambil terus berdzikir.
Aku mengucapkan salam. Bu Azizah menjawab dengan bersuara, sedangkan Farizi hanya menjawab tanpa suara. Wajahnya pucat pasi.
“Bagaimana keadaan Farizi, Bu?” tanyaku
“Beginilah nak Nisa, ibu dan Farizi sudah berusaha. Ibu dan pihak dokter sudah berusaha mencari donor tulang sumsum belakang untuk Farizi. Namun apa dayanya, kami ini dari keluarga sederhana sedangkan bantuan untuk kami sudah diberhentikan oleh pemerintah. Ibu yakin Allah akan memberikan jalan yang terbaik kepada umat-Nya yang mau berikhtiar dan bertawakkal.” Kata-kata bu Azizah membuat dadaku terasa sesak. Aku sungguh menyesalkan sikap pemerintah yang hanya memikirkan perutnya sendiri. Bahkan mereka sama sekali tak tersentuh oleh hukum.
“Insya Allah, Bu.” Jawabku. “Riz, berjanjilah kamu akan bertahan…” kataku pada Farizi.
Ia menganggukkan kepala dengan pelan sekali. Bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang begitu indah… Lebih indah dari senyum-senyum yang sebelumnya. Dengan lirih ia berkata, “Laa ilaaha illallah, Muhammadan abduhu warasuluh…”
Farizi masih tersenyum, perlahan tatapan matanya meredup. Monitor yang tadinya menampilkan gelombang pertanda jantungnya masih berdetak kini telah berubah menjadi garis lurus. Farizi telah tiada. Namun senyumnya yang indah masih membekas pada jasadnya. Malaikat diutuskan oleh Allah menjemput nyawa orang beriman seperti Farizi, bukan mencabutnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…
Air mataku tak bisa terbendung lagi.
Hai jiwa yang tenang,
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku.
Dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(QS. Al-Fajr : 27-30)
Kini aku tak bisa lagi bertemu dan mendengar suara merdu Farizi yang sedang mengalunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Namun aku masih bisa merasakan kelembutan hatinya, bening hatinya masih selalu terpancar sebening tetesan embun yang bersujud pagi itu,
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang akan kamu dustakan?
Mereka bersandarkan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.
(QS. Ar-Rahman : 75-76)
Sujud para perindu Allah tak hanya hidup ketika ia hidup saja, namun ia akan selalu hidup dalam kematiannya…

SELESAI